POLITIK-Di era media sosial, istilah nepo baby—singkatan dari nepotism baby—mencuat sebagai bahan diskusi yang hangat sekaligus sindiran tajam. Istilah ini merujuk pada mereka yang mendapat keuntungan besar dalam karier atau kehidupannya berkat koneksi keluarga, terutama orang tua mereka yang sudah mapan atau berpengaruh. Fenomena ini terlihat nyata di industri hiburan, seni, bisnis, bahkan politik. Jika di Hollywood kita mengenal anak bintang besar yang langsung menembus layar utama tanpa perjuangan berat, di Indonesia, nepo baby justru menjadi sorotan di ranah politik.
Coba pikirkan, seorang anak muda yang mendadak menduduki kursi strategis, jabatan bergengsi, atau bahkan posisi pembuat kebijakan di usia yang baru saja meninggalkan bangku sekolah. Masyarakat pun terheran-heran, apakah ini hasil kompetensi murni atau ada “tangan ajaib” yang membukakan pintu kekuasaan? Dengan skeptis, publik bertanya, “Apakah mereka benar-benar siap mengambil tanggung jawab sebesar ini?”
Baca juga:
Tony Rosyid: Demokrat Dalam Jebakan PDIP?
|
Di negeri kita, nepo baby politik bukan hanya soal peluang karier; ini menyentuh inti pengelolaan hajat hidup orang banyak. Bayangkan, kebijakan yang menentukan arah pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan masyarakat, berada di tangan mereka yang dianggap “naik kelas” hanya karena koneksi keluarga. Apakah kita sedang bermain-main dengan masa depan bangsa, menyerahkan tanggung jawab besar kepada mereka yang mungkin belum cukup pengalaman?
Satu sisi, kita paham bahwa koneksi keluarga memang bisa menjadi pintu masuk. Tapi, apakah itu cukup untuk membangun legitimasi? Wajar jika masyarakat skeptis. Mereka melihat jabatan politik sebagai ladang pengabdian, bukan arena magang untuk anak-anak muda yang masih dalam proses “belajar memimpin.”
Namun, mari kita sedikit adil. Tidak semua nepo baby adalah produk koneksi semata. Ada di antara mereka yang benar-benar berbakat dan bekerja keras untuk membuktikan bahwa nama besar keluarga hanyalah batu loncatan, bukan satu-satunya alasan keberhasilan mereka. Meski begitu, bukankah keadilan sosial menuntut agar setiap individu punya kesempatan yang setara, terlepas dari nama belakang mereka?
Fenomena nepo baby di politik Indonesia ini seharusnya menjadi bahan refleksi. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa sistem yang ada tidak hanya menguntungkan segelintir keluarga berpengaruh, tetapi juga membuka jalan bagi talenta-talenta muda dari berbagai latar belakang? Apakah kita siap untuk beranjak dari budaya patronase menuju meritokrasi yang sesungguhnya?
Dalam dunia politik, tanggung jawab itu berat, dan idealnya, tidak diserahkan kepada mereka yang hanya mengandalkan privilege. Karena pada akhirnya, keputusan mereka akan menyentuh kehidupan jutaan rakyat. Kita tidak bisa hanya berharap bahwa mereka akan “belajar” sambil bekerja, apalagi jika taruhannya adalah masa depan bangsa.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan terus diam melihat kursi-kursi strategis dikelola oleh para nepo baby yang “dikartubi” hak spesial orang tua mereka? Atau, sudah saatnya kita menuntut lebih dari mereka yang berani memegang kekuasaan? Karena seperti kata pepatah, “Besar kuasa, besar pula tanggung jawabnya”—dan tanggung jawab itu tidak boleh dipermainkan, apalagi diwariskan begitu saja.
Bandar Lampung, 27 November 2024
Hidayat Kampai